Banten Otonan

Mendapat permintaan dari salah satu pembaca untuk memposting banten otonan, kami mencari refrensi yang ada dan ini menurut kami yang terlengkap. Silahkan dibaca yaa..Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

Sarana upakara kecil: prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara. Upakara yang lebih besar : prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit. Waktu upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya. Tempat seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. Pelaksana upacara dipimpin oieh pandita / pinandita atau oleh keluarga tertua. Baca Selengkapnya 🙂

MAKNA CARU, SEGEHAN, TAWUR

Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang Baca Selengkapnya.. 🙂

BANTEN PEJATI

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah Baca Selengkapnya.. 🙂

BANTEN SEBAGAI SIMBOL BERSERAH DIRI

Banten Sebagai Simbol Berserah Diri

BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut :

“Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari”.

Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna. Baca Selengkapnya.. 🙂

BANTEN SEBAGAI BAHASA SIMBOL

Banten Sebagai Bahasa Simbol

BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sacral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu : “Pinaka Raganta Tuwi” artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. “Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara” artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan “Pinaka Andha Bhuvana” artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung.

Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten Baca Selengkapnya.. 🙂

BANTEN SEBAGAI PENGUAT KONSEP HIDUP

Banten Sebagai Penguatan Konsep Hidup

BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan konsep hidup yang bersifat universal, yang

wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini.

Sebagai manusia normal kesuksesan dalam hidup merupakan Baca Selengkapnya 🙂

BANTEN SARAT MAKNA SIMBOLIK

Banten Sarat Makna Simbolik (Tak hanya Hiasan Belaka)

SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.

Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto di kalangan umat.

Misalnya canang, kata Ngurah Sudiana, sudah umum dipakai sebagai Baca Selengkapnya.. 🙂