PURA DI TIMOR LESTE

Berkat Xanana, Pura Girinatha di Dili (Timor-Timur) Tetap Bertahan

Keberadaan Pura di kota Dili Timor Leste hingga kini tetap dipertahankan. Hal ini tak terlepas dari keinginan Xanana Gusmao, sewaktu masih menjabat sebagai presiden.

Hal itu ditegaskan Gubernur Bali Made Mangku Pastika saat acara open house di wantilan DPRD Bali, Sabtu (25/4). Padahal, kata Pastika yang pernah bertugas di Timtim, pernah mengutarakan akan memprelina (meniadakan) Pura terbesar di Dili itu, menyusul hengkangnya warga Bali (Hindu) dari Timtim pasca jajak pendapat.

“Saya sudah pernah sampaikan keinginan ke Xanana untuk memprelina jangan, biarkan tetap dipertahankan,” ujar Pastika, menirukan ucapan Xanana yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Timor Leste.

Akhirnya hingga kini, Pura di sana sampai kini masih utuh. Beruntung di negeri itu ada umat Hindu walau jumlahnya segelintir saja.

“Saya juga ingin suatu saat datang sembahyang ke Pura itu,” ujar Pastika yang mengaku menyimpan banyak kenangan dengan Pura itu selama bertugas di bumi mantan propinsi ke-27 Indonesia itu. (sss)

http://beritabali.com/index.php?reg=&kat=&s=news&id=200904250006

Pura Girinatha; Satu-satunya Pura di Dili, Timor Leste Peninggalan Indonesia

oleh: I PUTU SUYATRA, Dili

Pura Girinatha, adalah satu-satunya pura peninggalan jaman Indonesia di Dili, Timor Leste. Pura ini dibangun pada jaman Gubernur Mario Vegas Carrascalao, 1987 lalu. Meski kondisinya memprihatinkan, tapi pura ini masih tetap digunakan oleh sedikit umat Hindu di Dili.

PURA yang biasa digunakan umat Hindu di Dili pada jaman Indonesia dulu, terletak di daerah Taibesi. Seperti layaknya pura-pura lain di Indonesia di luar Bali, pura ini terletak di perbukitan. Tapi, bukit yang ada di sini tidak terlalu tinggi. Sehingga tidak begitu sulit untuk sampai di jaba (bagian terluar) pura. Bahkan, bisa ditempuh dengan mobil.

Jalan aspal yang menuju pura yang diresmikan Gubernur Timtim, Mario Vegas Carrascalao, 27 Juni 1987 ini juga masih bagus. Cuma, karena kemungkinan jarang dilalui kendaraan roda dua, sebagian bibir jalan mulai dijalari rumput liar.

Jalan ini berujung pada daerah beraspal yang disebut jaba pura. Ukurannya sekitar 25×40 meter. Kemudian di seberang atau sebelah selatan jaba pura, terdapat bangunan berukuran 4×5 meter yang atapnya mulai rontok. Tampak bangunan yang memang pondasinya sengaja ditinggikan itu hingga sekitar dua meter dari areal parkir teresebut tidak terurus. “Dulu tempat itu biasa dipakai untuk taruh sajen,” kata Cezar Marcel, warga setempat yang tinggal tepat di depan Pura Girinatha.

Sementara di sebelah timur jaba pura, berdiri dua rumah sederhana berukuran sekitar 6×5 meter dan 4×5 meter. Temboknya terbuat dari batako tanpa plesteran. Rumah itu sudah ada sebelum pura ini dibangun dan ditempati keluarga Cezar Marcel dan Joao da Silva.

Siang itu, kebetulan keluarga kedua pemilik rumah itu cukup lengkap. Tiga anak-anak berusia di bawah 10 tahun bermain di teras rumah sebelah selatan. Setelah bertegur sapa dengan pemilik rumah, koran ini kemudian masuk ke dalam pura. Tidak ada penghalang untuk masuk ke dalam areal pura. Kebetulan pintu besi yang ada di sebelah kiri gerbang utama itu tidak terkunci. Gerbang utama (kori) pura itu sendiri sudah mulai rontok pada bagian atasnya. Di sela-sela rumput liar dan runtuhan kori itu, terdapat beberapa butiran tai kambing. Sepertinya empat kambing yang koran ini temui di jaba pura itu baru saja keluar dari dalam. Tampak tainya masih basah.

Sedangkan penyengker (sebutan untuk tembok pura, Red) yang membatasi jaba dengan jaba tengah (bagian tengah. Areal ini sudah memasuki kawasan suci, Red) bagian timur tampak beberapa potong pakaian dijemur. Tampaknya milik keuarga Joao da Silva dan Cezar Marcel.

Sementara bale gong (bangunan untuk menyimpan gamelan, Red) yang ada di jaba tengah tampak sudah hancur. Atapnya sudah lenyap. Yang tersisa hanya kuda-kuda yang terbuat dari baja. Sedangkan lantai keramik warna putihnya masih utuh meski mulai dijalari rumput liar. Sedangkan di kiri kanan bangunannya tampak berserakan runtuhan kori yang jaraknya memang hanya sekitar dua meter dengan bale gong tersebut. “Ini dulu dipakai untuk main musik (gamelan, Red),” kata Cezar sambil menggerakkan tangan kanannya seolah sedang memukul gamelan.

Sementara di ujung utara, tampak dua pelinggih (candi) berdiri kokoh. Pelinggih paling besar yang posisinya paling timur, dibalut dengan kain kuning. Kainnya tampaknya belum lama dibalutkan. Sedangkan pelinggih yang lebih kecil juga dibalut kain kuning tapi sudah lusuh.

Di pelataran pelinggih ini masih terdapat bekas canang (sajen) yang terbuat dari janur kuning. Dilihat dari kondisi canang itu, sepertinya baru berumur satu atau dua minggu. Potongan dupa dupa juga ada di situ. Dupa itu menandakan bahwa pura ini memang masih digunakan untuk sembahyang. Apalagi dupa utuh di dalam plastik itu juga masih tampak baru.

“Memang ada saja yang masih datang ke sini. Tapi tidak seperti dulu. Paling orang datang dua atau tiga orang yang datang. Kadang ada juga yang sendirian. Mungkin banyak yang tidak tahu kalau ada tempat sembahyang di sini. Yang datang paling sering hari Sabtu dan Minggu. Tapi tidak pernah malam seperti dulu,” terang Joao da Silva.

Menurutnya dulu, ketika masih menjadi salah satu provinsi Indonesia, umat Hindu di Dili cukup banyak. Jika ada upacara, antrian untuk ke pura ini bisa satu kilometer. Dulu orang bersembahyang juga banyak yang malam-malam.

Sementara di bagian pojok sebelah barat pura itu, ada lagi satu candi kecil. Tingginya tidak lebih dari 1,5 meter. Bangunan ini persis seperti tempat sembahyang umat Hindu India. Pada bangunan itu terdapat satu lubang. Di dalamnya terdapat patung dewa dan gambar Krishna yang dibingkai. Sedangkan di bibir lubang itu berdiri tujuh lilin yang tinggal sepertiga. Ada juga tempat dupa yang sudah penuh dengan potongan-potongan dupa.

“Di sini kan banyak juga orang India. Makanya bangunan ini sudah ada dari dulu. Sejak jajak pendapat, tidak ada bangunan tambahan di sini,” ungkap Joao da Silva.

Sampai sekarang, kata dia, juga masih ada orang India di Dili. Orang India yang belakangan paling sering sembahyang di pura ini adalah Special Representatif Secretaries General (SRSG) PBB, di Timor Leste, Atul Khare. Setiap Minggu pagi, dia dan istrinya selalu bersembahyang di pura ini. “Sebelum sembahyang, pengawalnya datang lebih dulu. Mereka biasanya mengecek semua sudut pura,” sambung Cezar. “Kalau yang dulu (SRSG sebelumnya, Kamaler Sarena, Red) hanya kadang-kadang datang,” tambahnya.

Menurutnya, selain orang sembahyang, ada juga yang datang ke sini hanya untuk melihat-lihat. “Kalau ada muka asing yang datang, sering kami peringatkan untuk tidak berbuat macam-macam di dalam. Kami beritahu ini tempat suci, sama seperti gereja,” ungkap Joao.

http://yesie.multiply.com/journal/item/13/Pura_di_Timor_Leste

About ST PUTRA SESANA BIBAN
KAMI SEKAA TRUNA TRUNI PUTRA SESANA BANJAR ADAT BINGIN BANJAH DESA PAKRAMAN TEMUKUS. SEKAA INI DIBENTUK BELANDASKAN ATAS NILAI - NILAI ADAT BALI DAN AJARAN AGAMA HINDU. DALAM BOG INI, KAMI INGIN BERBAGI INFORMASI MENGENAI KEGIATAN YANG KAMI LAKUKAN SEBAGAI BAHAN EDUKASI KITA SEMUA DEMI KEAJEGAN DAN KEMAJUAN ADAT BALI DAN HINDU.

Leave a comment